Kementerian Agama (Kemenag) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2025 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1446 H/2025 M. Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah anjuran takbiran yang dapat dilakukan di masjid, musala, serta tempat lainnya dengan tetap menjaga ketertiban dan keamanan. Namun, di balik aturan ini, bacaan takbir Idul Fitri menyimpan makna spiritual yang mendalam bagi umat Islam.
Takbir sebagai Wujud Syukur
Bacaan takbir yang dikumandangkan sejak malam takbiran hingga sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas selesainya ibadah puasa selama sebulan penuh. Dalam Islam, takbir ini bukan hanya sekadar lantunan kalimat, melainkan sebuah perayaan kemenangan spiritual setelah menahan hawa nafsu dan meningkatkan ketakwaan.
Menjaga Tradisi dan Syiar Islam
Dalam edaran Kemenag, takbiran dianjurkan sebagai bagian dari syiar Islam. Hal ini mencerminkan pentingnya menjaga tradisi keagamaan yang telah diwariskan turun-temurun, sekaligus mengingatkan umat Islam akan kebesaran Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan.
Bacaan Takbir dalam Perspektif Ulama
Para sahabat meriwayatkan sejumlah bacaan takbir Hari Raya Idul Fitri. Mereka juga berpendapat boleh hukumnya takbiran dengan lafaz yang biasa diucapkan orang-orang sebagai berikut.
للهُ اكبَرْ, اللهُ اكبَرْ اللهُ اكبَرْ لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُوَِللهِ الحَمْد
Allaahu akbar allaahu akbar allaahu akbar. laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahilhamd.
Artinya: “Allah maha besar Allah maha besar Allah maha besar. Tidak ada tuhan melainkan Allah, dan Allah maha besar, Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.”
Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin memaparkan bacaan takbir Idul Fitri dengan lafaz berikut ini.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِـيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ، لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu.
Allahu akbar kabira, walhamdu lillahi katsira, wa subhanallahi bukratan wa ashila, la ilaha illallahu wa la na’budu illa iyyahu. Mukhlishina lahud dina wa law karihal kafirun, la ilaha illallahu wahdah, shadaqa wa’dah, wa nashara ‘abdah, wa a’azza jundahu wa hazamal ahzaba wahdah, la ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamdu.
Artinya: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabiiran. Segala puji yang banyak bagi Allah. Maha suci Allah pagi dan sore. Tiada Tuhan selain Dia, tiada sekutu bagi-Nya walaupun dibenci orang-orang kafir.”
Takbir ini tidak hanya meneguhkan tauhid tetapi juga menjadi seruan kebersamaan dalam menyambut hari kemenangan.
Takbir dan Spiritualitas Masyarakat
Selain menjadi ekspresi kegembiraan, bacaan takbir juga memiliki dampak psikologis dan sosial. Saat gema takbir berkumandang, umat Islam merasakan kedamaian dan persatuan. Hal ini sejalan dengan imbauan Menteri Agama Nasaruddin Umar agar pelaksanaan ibadah Ramadan dan Idul Fitri dilakukan dengan suasana yang menyenangkan dan menenangkan.
Harmoni dalam Keberagaman
Kemenag menekankan pentingnya toleransi dalam perayaan Idul Fitri. Takbiran yang dilakukan dengan tertib mencerminkan harmoni dalam keberagaman. Ini menjadi momen di mana perbedaan latar belakang dan budaya tidak menjadi penghalang dalam merayakan hari besar umat Islam.
Edaran Kemenag tentang takbiran Idul Fitri 2025 tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaannya, tetapi juga mengingatkan umat Islam akan esensi dari bacaan takbir itu sendiri. Lebih dari sekadar tradisi, takbiran adalah bentuk syukur, pengingat tauhid, dan sarana mempererat ukhuwah Islamiyah dalam suasana kemenangan setelah Ramadan.